CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEXY MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEXY MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEXY MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak24 Seluruhnya orang didalamnya perlu bertarung dan berkorban agar tidak terdepak, serta tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita cerita hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang gak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi berarti gak sekedar itu. Denok pula mempunyai arti montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda merupakan seorang penari, dan kerapkali ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya serta Simbok menemukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang lantaran edan judi, serta beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih lantaran Bapak tidak ada, namun juga kebingungan lantaran beberapa waktu sesudah Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil biro judi yang memberikan hutang ke Bapak. Kami tidak miliki daerah tujuan, dan uang simpanan kami gak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak butuh ijazah, tandingan begitu banyak. Pada akhirnya sehabis lumayan lama melihat pelbagai peluang yang ada, Simbok menentukan untuk manfaatkan keterampilan kami. Hanya modal baju serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah bersiap ujian akhir SMA atau menempuh tahun awal kuliah, dan yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan baru, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, semata-mata cari keramaian di mana kami dapat peroleh beberapa lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak mudah pun cari uang melalui cara sebagai berikut, paling-paling yang kami temukan hanya buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Dan gak di semua tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang mau bayar, kadang kami jadi ditendang atau dihardik. Sehabis lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang datang dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami dari sana selalu disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski sering helai-lembar itu diserahkan ke kami kurang santun contohnya dengan diumpetkan ke kemeja kami. Apa saya serta Simbok memanglah menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tidak berasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi lumayan gelap terbakar matahari. Namun Simbok  dari dahulu terus membimbing dan mengingati saya untuk menjaga badan biarpun secara simpel, jadi walaupun sawo masak, kulit saya masih mulus serta tidak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pula sich bila dikatakan saya montok. Gak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya bisa-bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu takut dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun kuat karena sebab dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang kira demikian. Terherannya, meskipun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Hingga usia begitu lantas beliau terus elok. cerpensex.com Ditambah lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok serta tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa tidak baik lho bila tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok semua katakan saya elok. Saya pikirkan, ini sih pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga sampai lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat jadi tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang melihat."


Semakin lama saya biasa pun menggunakan dandanan semacam itu, jadi saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari tercipta penganten, bentar kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, seperti sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, tragedi ada kembali. Waktu tengah nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya was-was, beberapa orang di seputar beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sebetulnya sejak mulai ketabrak pula Simbok sudah tidak ada angan-angan, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Sampai tidak sampai hati saya memandangnya. Masa itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, karena itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Namun apa itu betul atau gak, saya tidak mau tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit serta penguburan, jadi perlu berutang kemanapun. Saya tidak sanggup melangsungkan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja karena begitu berduka. Barangkali setiap hari saya menangis, berduka ingat Simbok, pun kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, karena uang udah habis dan saya pun harus lawan banyak tukang tagih hutang yang tak mau tahu kepelikan saya . Maka, 1 minggu setelah Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak nampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang punyai sewaan. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat omong maaf, serta sang ibu justru ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, ucapnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya pengen upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEXY MENJUAL DIRI


Apesnya, hari itu pasar rada sepi, serta setelah dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan ingatan, bagaimana tekniknya agar kelak jika pulang sudah punyai cukup uang untuk bayar sewaan. Belum beberapa utang yang lain. Saat siang, saya sedang jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu hanya mengenal beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberinya kami uang namun beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta ada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat cost penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan selekas mungkin." WAJIB 4D


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tak dapat dapat uang ini hari untuk bayar sewaan. Jika berjualan, saya tidak mempunyai apapun, harus jual apa?"


Tetapi lalu tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa tujuannya itu.


"Kalaupun kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya perlu uang, tetapi apa harus dengan langkah seperti berikut? Tetapi jika gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya tidak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Jika saja gak ketutupan bedak, barangkali udah tampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi menyaksikani lantai, tidak berani mengangkut kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang membuktikan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memperhatikan sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian omong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ujarnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya terus sangsi. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Jika tidak mau ya telah," ujarnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada lelaki jujur ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sejumlah itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena mungkin barusan saya malu serta lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan membuka kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, namun tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya tambah deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa mestinya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, tetapi tidak tahu mengapa, saya  kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan tak henti memandang sekujur badan saya, sembari memberikan pujian.


"Mari donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama